Awal dari Retaknya Kebaikan

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

01-Mar-2023


Hanya orang sombong atau takabur yang menutup hati untuk belajar. Banyak orang hebat di dunia berakhir hancur kehebatannya dan memalukan bukan karena kurang cerdas, tapi kesombongan yang menutup hati dia. 

Hampir semua penyakit keburukan manusia adalah berawal dari TIDAK MAU BELAJAR. Belajar mencari kebenaran!. Orang-orang jahat bisa berubah jadi baik jika mau terus belajar mencari kebenaran itu. Orang-orang baik bisa berubah kebaikannya jika berhenti belajar. Entah menjadi menurun perbuatan baiknya, menjadi lebih sedikit perbuatan baiknya, menjadi malas berbuat baiknya atau bahkan berubah jadi penjahat. 

Banyak entitas bisnis tidak lagi menguasai pasar bahkan bangkrut karena malas belajar (tidak berinovasi). Dulu semua orang pakai Nokia, tapi karena inovasi yang rendah, produk itu tak lagi dominan ketika muncul Blackberry. Demikian juga Blackberry, pernah menguasai pasar dengan aplikasi BBM pengirim pesan yang seolah-olah gratis, menjadi digandrungi. Tapi karena jalan di tempat, rendah inovasi (rendah belajar), ketika muncul whatsapp di Android dan IOs, penjualan Blackberry? Silahkan cek sendiri. 

Iqro, bacalah. Itu disuruh apa? Belajar! Ayat Allah yang diturunkan pertama saja isinya adalah perintah belajar. Bayangkan, ayat pertama saja disuruh belajar. Bukan disuruh sholat, bukan disuruh jihad, bukan disuruh menegakkan syariat, bahkan bukan pula disuruh beriman dan bertauhid dengan taat. Sebab, bukankah tidak ada iman tanpa ilmu? Bukankah tidak ada keyakinan tanpa kekuatan pemikiran? Dan itu hanya akan di dapat dengan belajar. 

Suami istri yang saling mencintai bisa saling menyakiti jika tidak pernah mencari tahu bagaimana saling mengungkapkan perasaan dengan benar kepada pasangannya. Atau pasangan yang ibadahnya baik dan hebat, dapat menjadi suami/istri yang buruk jika tidak pernah belajar bagaimana cara memperlakukan pasangannya. 

Orang tua yang taat agama, shalih, terpandang di mata masyarakat, tidak menjadi jaminan otomatis anaknya menjadi shalih, jika orang tua ini tak pernah belajar bagaimana cara mendidik anaknya dengan cara yang shalih. Pernah menyimak? Adakah orang tua yang pemuka agama, anaknya terkena narkoba? 

Orang tua shalih secara individual tapi tidak belajar “cara shalih” mendidik anaknya, berpeluang membuat anaknya yang secara fitrah baik menjadi buruk. Suami yang shalih, sukses, kaya raya secara individual, jika tak pernah belajar bagaimana memperlakukan istri, bisa berpeluang menjadikan istrinya yang cantik, well educated, menjadi stress depresi dan tidak bahagia. 

Seorang ibu di Bandung mendatangi saya lalu berkata “Suami saya dulu punya gelar Phd lulusan Amerika Abah. Proyeknya banyak, penghasilannya sangat besar untuk ukuran orang Indonesia kebanyakan. Rumah pun ada di komplek elit yang pasaran beberapa tahun lalu masih berharga belasan milyar. 

Saya akui, ia sangat cerdas. Tapi dengan segala kecerdasan, kekayaan dan kelebihan suami saya, nyatanya saya malah tak bahagia berumah tangga dengannya. Saya depresi. Saya ke psikiater rutin tiap bulan. Sering minum obat penenang. Saya dianggap istri yang tak becus, istri yang tak mampu mengikuti ritme suami. Saya sudah berusaha, tapi saya dianggap terlalu lambat mengikuti ritmenya. Karena saya tak kuat, saya pun menggugat cerai. Sekarang saya bahagia dan bebas depresi ketika tak menjadi istrinya.”

Atau simaklah cerita berikut ini “Dulu sebelum belajar dengan Abah, suami saya meski kerja luar kota, pulang ke Palembang hanya sepekan sekali. Meski jarang ketemu anak, anak-anak saya malah tidak senang jika suami saya pulang. Ada saja cara anak untuk menghindar dari papahnya. Mau ke tempat neneknya, mau main di rumah pamanlah, dan seterusnya. Mereka gak betah jika papanya pulang.”

Lihat, mengapa tak sedikit orang yang setelah menikah bukannya tambah bahagia hidupnya malah menambah masalah? Dengan kecerdasan dan segala kelebihan seorang lekaki tadi, harusnya lelaki ini menjadi orang yang lebih bermanfaat, lebih mudah untuk membahagiakan banyak orang, termasuk istrinya? Mengapa anak dan istrinya justru malah menderita dibuatnya? Bukankah menikah itu untuk menggenapkan setengah dien (agama)? Tapi, mengapa sebagian perempuan sebelum menikah sangat ghirah beribadah, giat berda’wah, tapi setelah menikah malah sering futur ibadah? 

Banyak orang rela belajar bertahun -tahun untuk menguasai bidang yang akan menentukan kesuksesan pekerjaan. Setelah bertahun-tahun kuliah saja, jika diterima bekerja di sebuah instansi atau perusahaan, masih juga harus ditraining soal pekerjaan. Untuk menjadi PNS ada diklat prajabatan. Untuk jadi karyawan pabrik apalagi karyawan bank, masih juga harus ditraining sebelum melakukan pekerjaan. 

Setelah masuk kerja, bahkan juga masih terus di update dengan upgrading kelas pelatihan. Dari upgrading teknis sampai kepemimpinan. Rela dikirim ke luar kota bahkan luar negeri untuk meninggalkan keluarga berhari-hari. 

Tapi berapa banyak orang yang mau belajar untuk “urus keluarga”? Pernahkan kita benar-benar serius belajar bagaimana memperlakukan istri? Bagaimana memperlakukan suami? Bagaimana memperlakukan anak? Karena tak belajar, maka sebagian orang hanya berujung: siap nikah tapi tidak siap jadi suami, tidak siap jadi istri. Siap menikah tapi tidak siap jadi orang tua. 

Ketika seseorang mau belajar, ikut pelatihan parenting misalnya, masih juga harus dipatahkan oleh pasangannya: yang penting praktiknya, bukan teorinya. Darimana kita tahu praktik kita tepat atau tidak, jika kita tak pernah belajar? Bahkan tak sedikit perempuan mengadu sama saya “Saya dimarahin suami saya ikut pelatihan parenting 2 hari, karena meninggalkan anak dan suami, Abah!” Coba perhatikan? Ditinggalkan istrinya 2 hari aja kerempongan, padahal istrinya berhari-hari rela mendampingi anaknya tanpa pernah protes.  

Mengapa sebagian orang rela meninggalkan keluarganya berhari-hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan untuk sampai ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk kepentingan upgrading pekerjaannya, tapi tak bersedia belajar pengasuhan, meski hanya 2 hari, padahal jelas-jelas untuk kepentingan anak-anaknya sendiri? 

Belajar itu berarti bukan diam ditempat hanya memperhatikan. Belajar itu kata kerja. Mencari guru, membaca buku, bertanya, lalu menguji coba. Tidak berhasil dengan A lakukan B, dan seterusnya. Tidak berhasil, memeriksa semua adakah cara yg salah penerapannya? 

Soal interaksi suami istri, jika tak berhasil juga pasti ada salah satu yang tak terbuka belajar. Karena itu, kita tidak menuntut pasangan sempurna, tapi menuntut pasangan yang mau terbuka hati belajar, terbuka bicara. Tidak untuk menuntut kesempurnaan, tapi menuntut untuk terus lebih baik dari hari ke hari.

Jika orang tua tak mau belajar, jika suami istri tak mau belajar? THE END! Keluarga adalah benteng kehidupan. Jika benteng tidak terus dipelihara, maka lapuklah ia. Memelihara benteng berarti terus menghadirkan kekuatan pikiran untuk semua anggota keluarga. Memeliharanya dengan motivasi dan ilmu kebaikan. Ia berarti menuntut hadirnya majelis ilmu di keluarga. 

Jika seorang istri menuntut suaminya shalih, itu tak mungkin terjadi jika suaminya tak diajak belajar untuk hadir di majelis-majelis ilmu. Jika seorang suami menuntut istrinya shalihah, itu sebenarnya lebih mudah, karena suami adalah qowwam. Masalahnya, apakah keshalihan istri itu datang dengan sendirinya? 

Keshalihan dan keshalihahan itu dibina, ditempa. Apakah anak dan istrinya benar-benar ditarbiyah? Apakah hadir ta’lim-ta’lim ilmu di rumah? Jika seorang suami tidak mampu melakukannya karena keterbatasan ilmu, fasilitasilah anak dan istrinya untuk NYAMAN belajar, menghadiri majelis-majelis ilmu. 

Tolong perbesar kata nyaman. Saya sengaja berikan atensi pada kata nyaman karena banyak suami mengizinkan istrinya untuk hadir di majelis ilmu, tapi malah menyuruh 3 anaknya dibawa semuanya oleh istrinya. Di tempat kajian ilmu akhirnya sang istri bukan fokus menyimak ilmu, malah sibuk bolak-balik ngejar anaknya yang lari, menenangkan yang ingin jajan, menenangkan kerewelan dan seterusnya. Karena itu saya malah “mengharamkan” istri saya untuk bawa anak jika hendak pergi ke tempat kajian.

Jika berhenti belajar, tinggal tunggu waktu, berhenti juga kebaikannya. Saya punya teman SD, dua bersaudara, kembar. Satu perempuan dan satu lelaki. Keduanya satu sekolah dengan saya. Saat SMP anak perempuan teman saya ini memutuskan untuk sekolah pesantren sedangkan Kakaknya yang lelaki, sekolah di sekolah biasa dengan saya. Selepas SMP dia tidak memutuskan pesantren. 

Suatu hari setelah SMP, saya berkunjung ke rumahnya untuk ngobrol dengan yang lelaki. Melihat kedatangan saya, teman perempuan saya ini yang tadinya di ruang tamu “ngibrit” lari ke kamar. Oh rupanya ia sekarang punya prinsip “malu bertemu dengan lelaki yang bukan mahram”. Maklum, mungkin lulusan pesantren. Saya berbangga dan kagum dengannya. 

Tapi apa yang terjadi sekira setengah tahun kemudian saat saya berkunjung lagi ke rumahnya? Dia ikut nimbrung ngobrol dan masih memakai hijabnya. Mau ikut ngobrol atau tidak saya tidak mempermasalahkan, itu urusan dia. Yang jadi bahasannya saya, kenapa ia berubah? 

Sekira setahun kemudian saat saya berkunjung kembali ke rumahnya, dia masih berhijab tapi gaya berpakainnya sudah berbeda. Kerudungnya memang masih menutup rambutnya, tapi tidak lagi menutup lehernya. Asal tempel. Dan dapat ditebak, tak sampai setahun kemudian ia benar-benar melepas kerudungnya ke luar rumah. Berkerudung atau tidak, itu bukan urusan saya. Saya hanya memperhatikan, bahwa semua orang dapat berubah. Penampilan, akhlak dan lain-lain. Jika perubahan ke arah yang lebih baik, tentu bagus. Bagaimana jika perubahannya ke arah yang malah lebih buruk? 

Suami istri haruslah ngobrol, bicara, berkomunikasi. Jika tidak ada komunikasi, bukan keluarga! Jika suami istri jarang ngobrol, maka untuk apa menikah? bukankah menikah itu menyatukan dua orang yang berpisah?

Jika sepasang lekaki dan perempuan setelah menikah, lalu bertemu tiap hari tapi tak pernah “bersatu” dengan ngobrol, maka pada dasarnya ia bersatu hanya untuk tujuan reproduksi, menyatukan tubuh, bukan untuk menikah, menyatukan hati.

Jika kalian, suami istri tak mau ngobrol ? BUBAR AJA KALIAN!! Ngapain kalian menikah? 

Jika tak pernah nyambung saat ngobrol, jika malah sering tak nyaman ngobrol dengan pasangan. Cari tahu dong, terbuka hati, buka diri, saat apa sih tak nyaman? Mengapa sih tak nyaman? Ada yang salah dengan topiknya atau pilihan bahasanya? Dan seterusnya dan seterusnya. Itulah hakikat belajar. Mengobservasi, menguji coba, berulang-ulang dan insya Allah suatu hari Anda akan merasakan “horeeee… got it! Istriku senang jika ngomong dengan cara ini.”, “Oh rupanya suami lebih senang jika harus muter dulu, tak langsung ke masalah.” Jika perlu datangi konselor, tanya mereka. Apa yang salah dan seterusnya. 

Maka, menghadirkan majlis ilmu di keluarga kita? Wajib. Buatlah halaqoh-halaqoh keluarga. Jika perlu, ya tiap hari. Saya menyebutnya 1821, dari pukul 18.00-21.00 matikan gadget, televisi dan komputer, tiap hari di keluarga. Disconnect with others, connect with my family. Sesekali libur bolehlah. Tapi kebanyakan libur, gak ngurus keluarga namanya. 

Setidaknya, yuk, jadikan hadir ke majelis ilmu salah satu rekreasi wajib keluarga kita. Sepekan sekali, sebulan sekali, terserah. Yang penting merutinkan cahaya ilmu (kebenaran)  ke keluarga kita. Niscaya insya Allah istiqomah dalam kebaikan akan kita dapatkan. 



0 Komentar



Komentar :

Wiji Ayu Prihatin
Posted : 24-11-2022
MasyaAllah namanya belajar tidak akan pernah berhenti