Ketika anak berkata “Ayah Ibu Nggak Sayang Lagi Sama Aku!”

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

15-Nov-2022


Pernah dengar kalimat semacam judul itu dari anak kita? “Mama jahat!”, “Aku benci Ayah!” atau “Ayah ibu tidak sayang aku lagi.” Ini bukan yang pertama kali saya dengar dari anak saya. Hanya yang besar sudah dapat. Pagi ini, kejadian pada anak nomor enam (6 juga usianya, 6 tahun maksudnya).

Pagi ini dia marah sama ibunya. Ceritanya, dia mengisi TTS yang ada di sebuah majalah anak. Dia ingin mengirimkan jawaban dia via email karena ingin dapat hadiah dari TTS itu. Tapi karena penuh coretan Uminya cuma berkata “Nggak bisa Nak, itu kan banyak coretan, nanti aja lagi pas minggu berikutnya, di majalah edisi berikutnya.”

Rupanya, Syakura tidak terima dengan perkataan Uminya. Dia langsung masuk kamar. Mengunci pintu. Alhamdulilah sih tidak sampai menutup pintu dengan dibanting. Lalu dia meninggalkan kertas di depan pintu dengan tulisan yang, yah namanya juga baru bisa nulis. “Umi nggak sayang anaknya. Umi jahat sama anaknya. Buktinya Umi gitu…”

Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kalimat ini? Setelah itu tindakan apa yang akan kita lakukan? Sebagian kita mungkin akan mengatakan langsung pada anak bahwa “itu tidak benar!” Karena kita merasa bahwa yang mereka pikirkan atau mereka rasakan itu salah.

Tapi saran saya, please, jangan melakukannya. Mengapa sebaiknya jangan buru-buru mengucapkan kalimat itu? Pertama, tahukah Ayah Ibu, memberitahu anak kita bahwa perasaan mereka salah adalah bagian yang kita sebut sebagai “gaslighting”. Atau kita hanya berusaha menerangi hati anak yang “tidak nyaman” sebentar tapi tidak benar-benar menyelami apa yang mereka rasakan. Sehingga tak sadar kita malah tidak membantu anak untuk mengenali perasaannya sendiri. Kita menutupi apa yang mereka rasakan karena kita tidak menerima perasaan mereka sendiri.

Kita sebetulnya tidak pernah bisa merasakan pengalaman orang lain sepenuhnya meski kita berusaha dalam posisinya (berempati). Memberitahu anak kita bahwa perasaan mereka salah, secara tidak sadar yang kita lakukan adalah “orang lain lebih tahu perasaannya, bukan dirinya sendiri.”

Padahal semua orangtua ingin memiliki anak yang percaya diri dan termasuk ingin memiliki anak yang mengenali perasaannya sendiri. Kita ingin anak mengenal perasaanya sendiri agar mereka dapat mengatasi atau mencari solusi atas apa yang mereka rasakan. Bagaimana mungkin mereka dapat mengatasi ketidaknyamanan yang mereka rasakan, jika mereka sendiri tidak “mengenal” atau tidak jelas mengetahui apa yang sebenarnya mereka rasakan?

Lebih parah, jika mereka saja tidak mengenal perasaannya sendiri, bagaimana mungkin mereka peduli pada perasaan orang lain?

Kita sering dengar kalimat ini ketika melihat ada orang yang kejam, keji, atau begitu tidak peduli dengan orang lain “dasar manusia nggak punya perasaan!” Kenapa disebut tidak punya perasaan? orang-orang dewasa yang tidak begitu peduli sama perasaan orang lain tersebut pada umumnya adalah orang-orang yang ketika mereka kecil mereka sering diabaikan perasaannya. Jika sering diabaikan, bagaimana mungkin mereka mengenal perasaannya sendiri bukan?

Kedua, kalimat “tidak benar, Ayah ibu sayang kamu kok!”,  mari kita periksa. Kalimat itu sebenarnya lebih sering berfokus pada perasaan anak atau pada perasaan orangtua sendiri?
Maksud saya, misalnya kita merespon kalimat anak tadi dengan kalimat "kamu salah, ayah ibu sayang kamu sedalam lautan. Ayah ibu sayaaaaaaaaang banget seribu persen!” Coba periksa dengan jujur, kalimat ini sebenarnya untuk membantu anak mengembangkan perasaannya atau menenangkan perasaan kita sendiri?

Saat orangtua mendengar kalimat dari anak “Mama jahat, Ayah nggak sayang aku” tanpa disadari kita sebetulnya merasa “diserang” oleh anak dan bahwa kita merasa kita tidak seperti yang diduga oleh anak. Jadi alih-alih membantu mengembangkan perasaan anak yang terjadi sebenarnya kalimat “Mama sayang kamu kok, Ayah juga sayang” pada dasarnya untuk menghibur dan menenangkan perasaan sendiri. Kita memakai sudut padang kita sebagai orangtua, bukan sudut pandang anak. Karena kita mendengar kalimat itu dari anak, perasaan kita sebagai orangtua tidak nyaman. Agar perasaan kita lebih baik dan merasa nyaman lagi lalu kita mengucapkan kalimat “Itu tidak benar!”.

Studi dari seluruh rentang psikologis menunjukkan, efek empati pada jiwa manusia, pada hubungan, dan tentu saja relasi dengan anak-anak kita, ketika anak-anak merasa dilihat dan didengar; merasa divalidasi, anak-anak mendapat kesempatan untuk belajar siapa mereka sebenarnya dan apa yang mereka rasakan. Jadi apa yang harus dilakukan?

Ketika akan mengucapkan kalimat tadi, pertama sekali adalah kita harus menerima perasaan mereka. Menerima itu bukan berarti menyetujui bahwa mereka benar. Lepas dari benar atau salah, tapi yang mereka rasakan sebenarnya real atas pengalaman sederhana mereka. Menerima artinya kita harus memahami “ini kenyataan yang mereka rasakan sekarang!”

Kedua, daripada langsung buru-buru mengatakan “yang kamu rasakan salah!”, usul saya lebih baik merespon dengan memvalidasi perasaannya dengan PERTANYAAN, bukan PERNYATAAN. Misalnya, “Kakak merasa Ayah Ibu tidak sayang lagi sama kakak Ya?” atau “Adik merasa Ayah sudah jahat sama adik kah?”

Lalu ajukan pertanyaan-pertanyaan tambahan “Coba cerita pada Ayah Ibu, perasaan kamu merasa tidak disayangi sama ayah ibu, atau kamu merasakan bahwa ayah ibu jahat sama kamu itu, pernah juga dirasakan di waktu yang lain?”

Umumnya anak-anak mengucapkan kalimat tadi pada saat ada beberapa keinginan atau kebutuhan yang tidak dipenuhi atau ditolak orangtuanya bukan? Sebutkan keinginan atau kebutuhan apa saja yang mereka inginkan tapi belum dipenuhi. Lalu setelah itu baru kita beritahukan bahwa jika menyangkut kebutuhan, orangtua pasti akan memenuhinya meskipun tidak selalu segera. Tapi jika itu hanya keinginan atau kesenangan, tugas kita membimbing anak bahwa justru tugas orangtua untuk “memenuhi kebutuhan anak dan membatasi kesenangan anak”. Kenapa kesenangan harus dibatasi? Saya pernah jelaskan ini di tulisan-tulisan sebelumnya. Salah satu sebab paling penting adalah bahwa “kesenangan justru akan terjaga nilai kesenangannya jika dibatasi”.

Ketiga, adakah situasi atau kejadian dimana mereka merasa sangat disayangi sama orangtuanya? Apakah orangtua selalu menolak keinginan mereka atau dalam beberapa hal mereka juga dipenuhi?

Ingat ya mengucapkan kalimat-kalimat ini pada anak harus dalam keadaan tenang dan lembut, bukan penuh tekanan. Jika tidak, sekali lagi itu berarti hanya fokus pada perasaan kita bukan pada perasaan anak. Lagi dan lagi akhirnya pada dasarnya itu untuk menenangkan hati kita bukan untuk membantu anak mengelola perasaannya sendiri. 



0 Komentar



Komentar :

Wiji Ayu Prihatin
Posted : 24-11-2022
MasyaAllah namanya belajar tidak akan pernah berhenti