Anak Manisku Sekarang Berani Membentak dan Melempar Barang Saat Marah Kepadaku

Oleh: Mama Prinsa

17-Nov-2020


Izinkan saya berbagi sedikit pengalaman ya. Mungkin di luaran sana ada orang yang mengalami hal serupa atau lebih serius, saya hanya ingin memotivasi sesama orangtua yang lain, agar semoga tidak menyerah saat menghadapi kesulitan menjalin hubungan dengan anak-anak ABGnya. Jika tidak mengalami, mudah-mudahan menjadi antisipasi sehingga dapat mencegah untuk tidak pernah mengalaminya.


Beberapa hari lalu, tepat hari jumat jm 11-am, saya mengalami masalah yang bagi saya benar-benar menguras emosi. Saya bertengkar dengan anak perempuan saya satu-satunya, 13 tahun.  Sebelumnya saya tidak pernah mengalami hal seperti ini dengannya. 


Perubahan perilaku anak saya terjadi sejak dia punya “sahabat” baru bernama handphone. Dulu saya tidak percaya bahwa handphone dan isinya bisa merubah perilaku anak. Saya masih berlindung dibalik argumen “ah itu kan hanya alat” tergantung penggunanya jadi baik atau tidak. Sama seperti pisau dapat digunakan untuk memasak atau menyakiti orang bergantung yang menggunakannya kan?


Setelah saya merasakan sendiri, saya menyadari bahwa handphone bukan sekadar alat seperti pisau. Dulu-dulu putri saya ini sangat dekat dengan saya, akrab dengan saya. Perangai dan perilakunya manis. Tidur pun dengan saya. Saya single parent. Sejak bayi dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya.  Orangtua manapun ingin yang terbaik untuk anaknya. Karena itu di tengah keterbatasan, saya kirimkan anak saya ke sekolah asrama berbasis agama. Ini hanya ikhtiar saya, semoga menjadi satu pilihan baik untuk anak saya. Saya rela meski satu-satunya, pisah dengan dia demi masa depan dia


Tapi, semuanya berubah sejak pandemi covid-19. Sejak belajar dari rumah, anak saya harus belajar online. Saya berikan anak saya handphone sendiri. Sejak pegang handphone itu, perilakunya benar-benar berubah. Dia jadi asyik sendiri di kamar. Dibilangin barkali-kali agar jangan di kamar terus, tidak ngaruh buatnya. Dia jadi jarang ngobrol dengan Ibunya. Dengan alasan banyak tugas belajar dan les bahasa inggrisnya, mencatat pelajaran dan lain-lain dia jadi tidur sampai tengah malam. Makan pun harus diingetin karena terlalu asyik sendiri di kamar


Dia jadi sering marah dan berani bentak saya. Pernah saya tegur, eh dia melempar gelas ke saya. Kalau saya meninggi, dia lebih meninggi lagi suaranya sampai kedengeran tetangga. Pernah suatu hari waktu saya mau ambil hapenya, dia marah besar dan melempar hapenya sampai rusak


Salahnya saya, saya belikan hape lagi. Karena memang anak saya butuh untuk sekolah. Mungkin saya yang terlalu khawatir karena merasa anak satu-satunya, tidak ada ayah disampingnya, jadi saya takut jika mau tegas dengannya. Saya takut anak saya tertekan. Saya takut dengan ketegasan saya, anak saya tidak bahagia hidup dengan ibunya. Saat saya bertanya mengapa di kamar terus dia menjawab “aku gak nyaman soalnya ibu jadi sering marah-marah terus.”


Puncak emosi saya sampai membuat saya menangis berurai air mata dan bahkan luka berdarah pada tangan saya, terjadi pada Jumat siang itu. Setelah dia belajar online kegiatan sekolahnya, saya hanya bilang pada anak saya. “Nak, tolong jangan di kamar terus ya. Kalau sudah selesai talong buka pintu kamarnya dan sini bantuin ibu. Dia kalau di kamar itu suka mengunci kamarnya. Saya tidak boleh masuk


Saya ucapkan kalimat itu sampai 3x, dia tak bergembing tetap di kamarnya. Ada saja jawaban dan alasannya. Mungkin saya khilaf dan kesabaran saya hilang karena melihat setiap hari dan bahkan dari hari ke hari tambah parah cuekin Ibunya. Pada akhirya saya berkata dengan nada tinggi menyebut dan memanggilnya “Kamu keluar gak?!”


Tiba-tiba, bukanya keluar kamar, dia dengan sengaja membanting pintu dan mengunci dikamarnya lagi . Saya mengelus dada, sesak terasa. Air mata saya mengalir deras.  Sakit rasanya menyadari apa yang terjadi dengannya “Ya Allah kenapa anakku jadi begini?”


Karena tak kuat menahan perasaan, saya berlari masuk kamar sendiri. Menangis sesegukan meninggalkan anak saya. Saya bingung, saya marah, saya tertekan. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya tidak tahu harus cerita ke siapa? Kedua orangtua saya pun sudah wafat, saya single parent pula. Lalu setelah beberapa waktu, saya kepikiran menghubungi seseorang yang pernah saya banyak belajar dengannya. Beliau saya anggap guru parenting saya. Meski sudah belajar, kadang dalam kenyataan ketika dihadapkan dengan sebuah masalah real, saya butuh penguatan. Dengan izin Allah dan sedikit perjuangan akhirnya saya dapat berhubungan dengan beliau.


Lalu berceritalah saya dengan kejadian itu pada beliau. Saya mengatakan bahwa sejak sekolah online, anak saya jadi kecanduan gadget. Saya juga cerita bahwa saya sudah protes ke sekolahnya berkali-kali agar dikurangi tugas-tugasnya. Harapannya agar tidak online terus. Saya juga ceritakan semua perubahan yang terjadi pada anak saya sejak bersahabat dengan gadget


Sebetulnya sejak belajar dengan beliau saya sudah faham bahwa tanpa pengawasan dan pendampingan dengan benar tidak terlalu tepat anak belum dewasa diberikan gadget sendiri. Tapi saya bergembing dengannya: masak sih segitunya sampa gadget. Itu kan hanya alat. Saya juga tidak tega dan kasian anak saya dan tidak kuat melihat anak memelas minta hape. Segala pembenaran masuk ke kepala saya untuk memberi cape pada anak saya “kasihan lah, gaptek lah, takut anak saya ketinggalan informasi lah, takut anak saya jenuh, kalau gak dikasih hape dia ngapain? Nanti anak saya kurang hiburan lah, zamanya beda lah”, semacam ini


Semuanya hanyalah pembenaran dari ketidakberanian saya untuk tegas pada anak. Padahal menurut pak guru saya ini, kita bukan hanya boleh mengenal tapi malah bagus menguasai teknologi. AKan tetapi menguasai teknologi berbeda dikuasai atau jadi budak teknologi. Beliau berkata bahwa anak-anak sebetulnya tidak akan kurang hiburan dan kesenangan meski tidak bersama hape. Buktinya jaman kita dulu, meski teknologi belum maju, kita jarang kebingungan bersenang-senang dengan teman-teman kita


Saya banyak dapat insight dan memiliki banyak keberanian untuk melakukan tindakan selanjutnya. Beliau mengatakan, bukan pandemi yang salah, bukan sekolah yang salah. Jika orang lain yang salah atas masalah hidup kita, maka agar dapat menyelesaikan masalah, kita harus merubah orang lain yang menurut kita salah tadi. Apakah benar kita dapat merubah orang lain? Sedangkan jika kita melihat diri kita dan mau memeriksa apa yang salah dengan diri kita, kita masih punya kesempatan merubah diri sendiri. 


Kekurang tegasan kita pada anak yang harus kita benahi. Dan untuk tegas itu butuh pengorbanan. Mungkin dibilang ibu jahat, ibu tega, ibu kejam, ibu yang tidak mengerti anak, ibu kuper dan seterusnya. Jika anak sudah terlanjur punya keberanian, mungkin ada risiko anak kabur, anak bunuh diri dan lainnya. Semua risiko diceritakan sama beliau


“Saya tesentak, benar sekali apa yang dikatakan beliau. Saya yang lalai. Saya yang karang tegas pada anak selama ini. Saya yang terlalu membiarkan  anak yang usianya 13,5 tahun ini, asik dengan hapenya, kemanapun. Ke toilet, ke kamar mandi, aktivitas semuanya. Hape dibawa-bawa dan disakuin seakan tidak mau lepas dari genggaman. Di sini saya menyadari nasihat beliau, teknologi ini bukan benda mati seperti pisau. Tidak ada orang yang kecanduan pisau setelah punya pisau. Tidak ada orang bawa bisa kemana-mana, ke kamar, ke mobil. Tidak ada


Beliau juga mengatakan bahwa teknologi ini punya otak, bukan benda mati. Jadi tidak sesederhana mengatakan “tergantung penggunanya”. Sebab teknologi ini punya keinginan. Keinginannya adalah merubah perilaku penggunanya. Apa yang berubah? Berlama-lama dengannya! Itu tujuannya. Makin lama main medsos misalnya, itu yang diharapkan pembuat medsos. Makin lama main medsos, makin berpeluang mendapatkan paparan iklan dan akhirnya untunglah perusahaan-perusaahaan teknologi semacam tiktok, instagram, facebook, youtube. Gadget dan medsos di dalamnya memang tidak menjual produk pada kita, kita menggunakan medsos gratis, tapi mereka mengambil sesuatu dari kita: hidup kita, waktu kita. Dan itu benar terjadi pada saya. Setelah diselidiki anak saya seringnya nonton youtube dan main tiktok, waktu anak saya banyak dihabiskan dengannya saat di kamar.


Beliau bertanya “Setelah pegang gadget, anak ibu bisa didekati tidak?” Saya jawab “tidak”. Dia tidak mau lagi diajak jalan bareng, dia tidak mau lagi ngorbol bareng dan bahkan gak mau tidur sama saya lagi. Saya cerita sambil sesegukan menangis bahwa akhir-akhir ini, anak saya kalau marah suka lempar barang yang ada depan matanya, termasuk hapenya. Dan biasanya saya belikan lagi. 


“Orang pasti akan menyarankan dengan kondisi ini, peluk anak ibu lagi. Dia butuh kasih sayang ibunya lagi. Boleh jadi itu benar. Tapi kalau saya, selama ada border, anak ibu tidak akan bisa dipeluk. Tidak akan bisa diajak ngobrol. Maka jalan pertama sebelum memeluk anak ibu, bordernya harus disingkirkan. Border yang sudah ‘menculik’ dan merubah anak ibu. Yaitu hape!” nasihat beliau


Beliau berkata, sebetulnya hape itu banyak manfaatnya jika dibimbing dengan benar. Tapi ya namanya anak yang belum dewasa adalah normal jika orientasinya pada kesenangan bukan kebutuhan. Karena itu butuh bimbingan dari orangtua. Karena itu jika anak belum bisa berenang dengan benar, jangan coba-coba biarkan anak menyeberangi sungai yang dalam. Beliau mengatakan bahwa hapenya dicabut saja. Jika anak melempar hape, ya hancurkan aja sekalian hapenya, tunjukkan bahwa saya tegas. Tunjukkan bahwa saya berani. Bukan malah dibelikan. Pilih sayang anak atau sayang hapenya, semua ada risikonya.


Jika perlu berhenti sekolah sementara. Buat apa sekolah kalau gak ada akhlak pada orangtua. Tidak apa ketinggalan sekolah. Bisa nyusul, bisa ikut kejar paket. Ketinggalan pelajaran bisa ikut bimbel atau les tambahan. Jika yang ketinggalan tanggung jawab mau nyusulnya gimana? Dan banyak lagi nasihat dari beliau. 


Saya masih ingat pilihannya mau membiarkan terus atau mau berubah? Tidak mungkin ada perubahan pada anak jika ibunya tidak berubah. Jalan ketegasan harus diambil. Saya sudah tiap jika saya tegas dengan apapun reaksi anak saya: kabur, bunuh diri. Saya sudah tiap. Meski saya sedih jika anak saya melakukanya, saya harus berani mengambil reisiko . Allah akan menghisab perbuatan saya pada anak saya, bukan hasilnya, tapi prosesnya. Jika ketegasan saya tidak diterima anak saya, tidak apa. Saya sudah siap! Lebih baik anak saya mati bunuh diri daripada hidup nanti menyusahkan banyak orang. Asal, saya tidak membunuhnya. Lebih baik anak saya kabur dari rumah daripada dia terus durhaka pada orangtuanya. Asal saya tidak mengusirnya


Akhirnya saya beranikan diri ke kamar anak saya. Saya bilang “kamu harus keluar”. Ternyata anak saya tidak mau keluar, dia malah teriak-teriak menangis histeris di kamar sambil terus melempar barang-barang di kamar. Karena saya emosi dan pintu kamarnya tak mau dibuka, saya masuk lewat jendela. Tangan saya sampai berdarah untuk melakukannya


Hape yang dipegang anak, saya rampas. Lalu saya berkata "Kamu lebih mementingkan hape kamu daripada ibu kamu. Ibu sudah berkali-kali dan berbulan-bulan memberi kesempatan sama kamu. Tapi kamu tidak berubah. Ibu terlalu lembek sama kamu. Sekarang ibu mau berubah. Karena berkali-kali diajak bicara kamu tidak mau, maka terpaksa ibu putuskan sepihak. Kamu berhenti sekolah sementara 2 minggu. Ibu sudah izin ke guru-guru kamu. Kamu juga gak usah pake les-les segala. JIka tidak berubah juga, ibu gak keberatan kamu berhenti sekolah selamanya


Percuma kamu sekolah, gak ada gunanya kalau akhlak kamu tidak ada. Ibu menyekolahkan untuk menjadikan anak berakhlak, anak yang berguna, anak yang bermanfaat. Dulu kamu anak yang baik, tapi sejak kamu dikasi handphone kamu jadi asyik sendiri. Ibu yang kurang tegas selama ini sama kamu


Kamu gak suka dan gak nerima dengan keputusan ibu, kamu boleh tinggal dimanapun kamu suka. Kamu yang pergi sendiri. Tapi ingat jika kamu pergi, berarti kamu tidak mengakui aku ibumu lagi. Berarti kita tidak ada hubungan lagi. Kewajiban ibu memang ngurus kamu. Tapi kalau kamu tidak mau diurus, tidak mau diajak kerjasama, gugur kewajiban ibu dan kamu boleh tinggal dimanapun kamu suka. Kamu boleh kembali asal mau minta maaf dan mau ikut aturan rumah ini. Di luar sana hidup lebih keras. Silahkan kamu raih kebebasan yang kamu impikan. Setiap kebebasan harus ditebus dan dibayar dengan pengorbanan


Ibu ikhlas melakukan ini lalu dibilang sama kamu sebagai ibu jahat. Tidak apa, daripada kamu yang jadi penjahat. Kalau ibu membiarkan kamu seenaknya, berbuat buruk sama ibu, justru ibu yang jahat. Ibu malah berat nanti diminta pertanggungjawaban sama Allah." Lalu saya tinggalkan kamar anak saya


Beberapa jam kemudian, dia mendekati saya dan keluar kamar tanpa dipaksa. Dengan nada pelan, lalu dia minta maaf sama saya: "Maafin aku bu aku khilaf. Aku rela gak apa apa hape aku diambil sama ibu, tapi izinkan aku sekolah dan les. 


Saya masih berfikir kalau dia cuma ngomong doang begini bisa berulang lagi, bisa kambuh lagi. Lalu saya dengan tegas "Tidak ada ada les, tidak ada sekolah atau fasilitas lain sebelum akhlak kamu baik pada orangtua. Lupakan semua cita-citamu. Ibu tidak butuh sekolahmu, ibu butuh anak yang berakhlak mulia. Jika ibu ridlo sama kamu barulah ibu nanti mendukung dan terus mendoakan cita-citamu." Akhirnya saya tinggalakn dia lagi. 


Tepat pukul 19.00 dia menghampiri saya smbil nangis dan minta maaf "Ampunnn ampunn bu, aku ga mau ulangi kesalahan. Ga mau bentak atau marah sama ibu. Aku rela lakuin  apa saja asal ibu sayang lagi sama aku. Hape gapapa diambil sama ibu. Aku lebih butuh ibu. Aku butuh ibu sayang lagi sama aku." 


Saya dalam hati berkata "Ya Allah..... drastis berubah seketika anakku." Hati yang dari tadi siang hancur berantakan seketika melumer mencair dan tak terbendung kami menangis bareng-bareng. Setelah lama berpelukan, akhirnya saya jelaskan maksud saya melakukan tadi siang. Lalu saya berkata "ibu ingin kamu sekolah lagi, tapi tidak sekarang. Ibu perlu waktu." Jika pun mau sekolah maka sesuai saran guru parenting saya. Hape dipinjamkan, bukan punya sendiri. Tidak ada main internet di kamar harus di depan ibu. Kebetulan saya sedikit punya bisnis dari rumah. Jika anak setuju dengan kesepakatannya, maka dia boleh sekolah.


Sejak saya tegas mengambil hapenya, sepertinya anak saya kembali menjadi anak seperti dulu. Dia mau tidur sama saya lagi. dia mau banyak memeluk saya.  Endingnya kami bisa jalan dan ngadate lagi makan bareng di luar. Cari angin, ngobrol dan cerita-cerita di perjalanan sambil ngemil makanan. Waktu yang hilang kemarin bersama anak, kembali jika segera dapat mengatasinya dengan bersikap tegas


Saya membuat tulisan ini agar memotivasi diri saya dan orang lain yang mungkin   mengalami hal serupa agar mudah-mudahan tak menyerah dan semangat memperbaiki. Jika kita terus menyalahkan orang lain atas perilaku anak kita, maka kita harus merubah orang lain agar anak kita berubah. Tapi jika kita yang secara rendah hati mau mengoreksi, kita masih kesempatan merubah diri kita.


Terimakasih alhamdulillah ya Allah saya sujud syukur pada Allah dan berterima kasih pada guru saya, yang tak mau disebut namanya. Lewat perantara beliau saya dapat insight dan penguatan. Harta yang paling berharga yaitu anak-anak kita, Jika kita menyerah dan putus asa tanpa mau ambil resiko hari ini, maka nanti saat menua siap-siap jika akhirnya anak-anak kita, naudzubilahimindzalik, menyusahkan hidup orangtuanya dan banyak orang karena kita yang lalai mengajarkan tanggung jawab kepadanya. - Mama Prinsa - 




10 Komentar



Komentar :

mama rafi
Posted : 18-02-2021
terima kasih sharingnya, kayaknya derita yang sama pada saya, tetapi bagaimana saya bisa menerapkan pada anak saya untuk membuka HP didepan saya, karena saya ibu yang bekerja. Mohon juga sarannya abah untuk saya


Siti Anggraheni
Posted : 23-11-2020
Rasanya tak kuat membaca tulisan mama prinsa, begitu berat ternyata Tanggung jawab kita sebagai orang tua.mengingatkan saya juga untuk bisa bersikap tegas kepada anak. Yang masalahnya tidak jauh berbeda. Emosi2 yang keluar setiap hari karena dicuekin anak yang sibuk main hp. Tapi saya memilih membiarkan saja, Dari pada terpancing emosi. Tidakan bodoh saya ternyata😭😭. Dan mulai hari ini saya akan mencoba berubah. Bismillah.


Key
Posted : 18-11-2020
Ya Allah mbrebes mili bacanya, penting banget ketegasan orangtua ya, semoga mama Prinsa kuat dan mampu mengantarkan ananda menjadi Ananda yang sholihah 🤲🥺


Trisna Aryati
Posted : 18-11-2020
Tidak kuat menahan air mata bacanya Aba, perjuangan single mom. Menjadi tegas pada anak sangatlah tidak mudah dalam praktek sehari harinya. Juga bagi kami, padahal itu bagian dari tanggungjawab orangtua. Proses membentuk tanggungjawab pada anak. Terimakasih sharingnya mama Prinsa, Abah yang menjadi pembimbing dan pengingat kami.


Bulganin Bulsef
Posted : 18-11-2020
Apapun beratnya dlm kehidupan kita jangan lupa kepada sang pencipta Allah swt jd jangan dilupakan kewajibpan lima waktu insya Allah akan berjalan berdasarkan tuntunannya Amin y.a.