Seorang ibu tengah beraktivitas dengan dua anaknya. Si Kakak sudah dapat berjalan, usia masih di bawah 5 tahun. Si adik masih dalam gendongan. Tiba-tiba si Kakak loncat ke sebuah kolam. Si Ibu segera loncat ke dalam kolam karena menyadari anaknya yang belum dapat berenang tengah dalam bahaya.
Masalahnya adalah, saat ia ingin menyelamatkan si Kakak yang loncat ke air, si adik yang lagi di gendong ia lepas begitu saja sehingga adiknya membentur ke lantai. Satu diselamatkan, tapi yang lain malah mendapatkan kecelakaan.
Kejadian yang dilihat dari sebuah video (Sumber: https://youtube.com/shorts/rqGV4hXfZSM?feature=share) itu kelihatannya lucu dan mungkin membuat sebagian orang tersenyum jika kita bukan dalam posisi ibu ini. Akan tetapi apa yang kita rasakan jika kita dalam posisi Ibu ini dan ternyata mendapati si Adik malah terluka dan berakibat cedera fatal karena kepala anaknya yang kecil ini terbentur ke lantai yang keras? Penyesalan tiada tara, kesedihan tak terkira, karena mendapati anak celaka karena ulah sendiri.
Akibat ingin segera menyelamatkan si Kakak, fokus ibu ini teralihkan: fokus pada Kakak, tapi si Adik terabaikan. Kejadian ini pada dasarnya adalah salah satu kejadian diantara banyak kejadian yang banyak manusia mengalaminya. Kejadian ini makin membuktikan tesis bahwa pada dasarnya otak manusia tidak dapat memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Sebagian kita mungkin mengklaim bahwa tubuh kita dapat melakukan multitasking, melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu, tapi pada dasarnya otak kita tidak.
Ketika kita baca koran sambil makan pada dasarnya perhatian pada otak kita hanya berpindah dari waktu ke waktu, sepersekian detik atau bahkan menit dari baca koran atau makan. Jika orang tengah fokus baca koran, maka fokus pada makannya akan terabaikan. Sesekali akhirnya kunyahan di mulut tertahan. Demikian juga saat fokus pada makanan, maka bacaan pada koran itu beberapa saat akan terabaikan.
Karena itu multitasking pada dasarnya tidak dianjurkan. Banyak kerugian saat orang melakukan kegiatan multitasking. Pertama, multitasking itu ternyata menurunkan produktivitas sampai dengan 40%. Setidaknya itu temuan studi dari Daniel Siegel, associate clinical professor of psychiatry at UCLA Medical School in America. (Sumber: https://www.dailymail.co.uk/health/article-1205669/Is-multi-tasking-bad-brain-Experts-reveal-hidden-perils-juggling-jobs.html).
Dari studi itu juga ditemukan bahwa ternyata pernyataan otak perempuan itu memiliki kemampuan mulititasking lebih baik hanya mitos belaka karena tidak didukung terbukti oleh riset.
Maka kita sering mendengar pernyataan ini “Saya ini kerja di rumah karena agar bisa ‘sambil’ urus anak." Hasilnya? Anak tidak terlalu keurus dan “karya” pun tidak jelas. Karena urus anak “sambilan” maka hasilnya pun tidak maksimal. Pun karya diluar urusan anak pun tak kelihatan maksimal karena memang bukan prioritas yang harus dikejar.
Kedua, multitasking itu merusak otak. Itu setidaknya yang disebutkan dalam sebuah study dari Universitas Sussex di Inggris. Studi tersebut menemukan, melakukan kegiatan multitasking terus-menerus sebenarnya merusak otak. Mereka menemukan bahwa orang yang secara teratur multitasking memiliki kepadatan otak yang lebih rendah di wilayah otak yang bertanggung jawab atas empati, kontrol kognitif, dan kontrol emosi. (sumber: https://www.eurekalert.org/news-releases/467495).
Maka kita akan mendapati orang yang tengah melakukan kegiatan multitasking fokusnya menjadi lebih rendah. Orang yang fokusnya menjadi lebih rendah berakibat pada kecelakaan dan musibah banyak hal.
Apa yang terjadi jika kita menyetir mobil lalu saat bersamaan menonton bola? Menyetir mobil butuh kegiatan visual, nonton bola kegiatan visual. Jika kedua kegiatan visual itu disatukan: multitasking, saling menarik perhatian otak.
Berbeda jika nyetir mobil sambil mendengarkan radio. Tapi sebaliknya apa yang terjadi saat mendengarkan radio tapi kemudian anak Anda mengajak bicara? Anda akan mengabaikan salah satunya bukan?
Itu sebabnya orang yang sering tidak fokus juga sering marah-marah, sering gampang emosi, sering cemas, sering tidak tenang jiwanya. Apalagi di era hiburan, informasi, tayangan, menjejali otak manusia seperti di era teknologi sekarang. Otak manusia seolah tak sadar jadi terdorong memikirkan banyak hal dalam rentang waktu yang pendek. Saling menumpuk satu sama lain. Padahal boleh jadi banyak informasi itu sebetulnya tidak “relate” dengan kehidupan langsung dirinya.
Itu sebabnya tak sedikit manusia zaman now berkali-kali healing tidak dapat membuat hatinya “refreshing”. Kenapa? Karena di tempat healing bukannya menikmati pantai, gunung, suasana, bercengkrama, malah menikmati “screen time” lebih banyak, persis seperti yang dilakukannya di rumah sendiri.
Jadi untuk apa ke tempat healing mahal-mahal, jauh-jauh, jika di tempat healing masih juga main screen time?
Demikian juga soal anak, betapa sebagian orangtua akhirnya tidak “menikmati” peran jadi orangtua karena diantara waktu 24 jam bernafas dalam kehidupan, tidak satu jam pun yang benar-benar fokus sama anak. Tidak sambil-sambilan dicampur dengan masak, buka hape, "dzikir" whatsapp, atau urus "ummat."
Lama kelamaan apa yang terjadi? Anak itu gangguan! Disinilah awal musibah keberadaan anak. Saat orangtua tidak menikmati keberadaan anak, kejadian selanjutnya adalah anak-anak itu makin tidak menyenangkan diurus (dididik). Saat tidak dididik? Sebuah kepastian akhirnya mereka akan diurus “pihak lain”.
Akibat selanjutnya terus seperti bola salju. Makin lama, makin besar, anak-anak itu makin berfikir, berfikir, berperilaku, jauh dari yang diharapkan orangtua. Wajar, karena memang "software" yang menjadi modal "hardware" mereka berperilaku bukan diprogram atau diinstall orangtua, tapi pihak lain. Mungkin Si Won, mungkin So Un. Saya tidak tahu.
Makin menderitalah orangtua saat biaya hidup, makan, minum, jajan, tempat tinggal, pakaian, anak sakit, sekolah, dan hampir semua kebutuhan anak, orangtua yang menanggung. Tapi giliran berfikir, bersikap, berperilaku bukan merujuk pada nilai-nilai orangtua. Seolah anak kita, tubuhnya mengaku keluarga, tapi jiwanya anak orang lain. Duh!
Dalam karyanya Tuhfatul Maudûd bi ahkamil Maulûd, Ibnu Qayyim al- Jauziyyah mengatakan secara eksplisit bahwa: Betapa banyak anak sengsara di dunia dan di akhirat akibat kelalaian orangtuanya sendiri karena mereka tidak melindungi dan mendidik dengan baik.
Jadi apa yang harus dilakukan agar musibah itu tidak muncul? Sebelum membekali diri dengan berbagai kompetensi keorangtuaan, hal paling dasar yang dapat dilakukan adalah berikan waktu untuk anak kita yang benar-benar fokus! Tidak harus 24 jam, karena anak kita juga tidak butuh waktu kita 24 jam. Tapi sediakan waktu 1-3 jam sudah cukup luar biasa dampaknya untuk anak. Waktu yang benar-benar fokus. Matikan internet, simpen gadget, tutup layar. Lalu ngobrol, bercengkrama, atau main sama anak. Semangat 1821!