Untuk mencapai tujuan pendidikan pada anak, dalam prosesnya membutuhkan tahapan-tahapan yang harus kita lalui dengan sabar. Hakikatnya, pendidikan bukanlah pendadakan. Kenyataannya, tak sedikit di sekitar kita, sebagian orangtua yang mengharapkan anaknya menghasilkan sesuatu secara instan.
Pernyataan mirip-mirip ini ada di sekitar kita:
"Anak saya baru kelas 2 SD sudah mengumpulkan 100 piala."
"Anak saya sudah bisa sholat sendiri padahal usianya baru 5 tahun."
Atau mungkin mau yang lebih dahsyat?
"Anak saya baru usia 14 tahun tapi sudah punya penghasilan puluhan juta, alhamdulillah. Dia sudah jadi selebgram, saya sendiri ibunya yang jadi manajernya."
Tidak ada yang salah dengan anak berprestasi, dapat beribadah sejak dini atau masih belia sudah punya penghasilan sendiri. Akan tetapi, jika tidak didahului dengan tahapan yang tepat, pondasi yang kukuh sebelumnya, suatu hari, entah kapan, umumnya berujung pada penyesalan dan kepedihan yang menyakitkan.
Pernah dengan istilah "Early ripe, early rot", cepat matang cepat busuk? Ini idiom untuk menjelaskan ketika banyak proses diloncat-loncat yang terjadi adalah cepat jatuh. Betapa banyak di sekitar kita anak-anak yang dielu-elukan sejak kecil, membanggakan orangtua sejak kecil, karena pondasi mentalnya tidak kuat yang terjadi kemudian ia malah kesulitan menghadapi kerasnya kehidupan.
Meski tidak semua (semoga berarti juga tidak banyak), kita juga tidak sulit menemukan anak-anak yang dahulunya begitu "terampil" dengan praktik agamanya sejak kecil, mampu membaca dan hafal kitab sucinya sejak dini, berbagai macam kitab ilmu dilahap sejak kecil, eh sudah gedenya, mereka seperti kuda liar lepas dari kekangan. Mereka berubah drastis pindah ke klub satanis. Melepas pakaian penutupnya yang manis, bahkan beberapa diantaranya malah jadi pembenci nomor wahid agamanya dengan postingan-postingan di medsos yang sadis. Tak mudah merangkul mereka kembali, lah mereka hafal banyak sekali ayat Qur'an dan hadits. Lebih mudah mengajak ahli maksiat yang bodoh lalu bertaubat dibandingkan orang yang pintar agama lalu berubah maksiat bukan?
Atau betapa sesak dada ini ketika kita suatu saat harus mendengar seorang anak remaja dengan nada tinggi berkata pada orangtuanya "Ini uang aku, hasil kerja kerasku dari content media sosialku. Jadi Mama tak berhak mengatur-atur aku. Terserah dong mau diapakan uangku. Bahkan Mama juga makan dari uangku!"
Semoga kita tidak pernah merasakannya. Naudzubillah. Anak-anak yang digegas dengan cepat itu seperti sebuah bangunan yang mewah, indah, interior bagus, tapi dibangun di atas pondasi yang rapuh. Ada "guncangan" sedikit saja kemudian ambruk.
Atau, bayangkan jika kehidupan itu seperti seperti lari marathon yang panjang. Ujian: kelapangan atau kesempitan, kesenangan atau kesulitan, silih berganti menghampiri kita. Sayangnya, ketika otot-otot kaki itu belum kuat, sebagian anak disuruh lari sprint di awal kehidupannya. Akibatnya, mereka lemah, lemas dan bahkan terjatuh bahkan ketika belum sampai garis finish. Terjatuh kebaikannya, terjatuh konsistensi kebaikannya: kesuksesannya, ibadahnya, pemikiran lurusnya dan seterusnya.
Jadi bersabarlah wahai Ayah Ibu. Biarkan anak kita merangkak dulu, jangan digegas langsung disuruh berjalan. Karena pada betisnya, pahanya, pada lutut yang menopangnya saat merangkak, ada banyak syaraf-syaraf yang harus distimulasi lebih dulu.
Bersabarlah untuk memupuk akhlak mulia lebih dulu anak-anak kita, barulah kemudian kita boleh mengejar prestasinya (akhlak sebelum prestasi). Bersabarlah untuk mengajarkan adab lebih dulu baru membuatnya pintar dengan banyak pengetahuan (adab sebelum ilmu).
Bersabarlah untuk tidak buru-buru membuat anak mandiri dengan mengajarkan mereka bagaimana mencari uang dan banyak penghasilan, sebelum mereka dapat memahami kecerdasan emosional (apa arti gagal, respect others, gratitude, trustworthy, etc).
Presiden AS ke-28 Woodrow Wilson pernah berkata: "Kalau Anda kehilangan HARTA, Anda tidak kehilangan apa-apa (maksudnya hidup mungkin masih banyak harapan). Kalau Anda kehilangan KESEHATAN, Anda kehilangan sebagian dari sesuatu. Tapi kalau Anda kehilangan AKHLAK, maka anda kehilangan segalanya.
Bersabarlah untuk mengajarkannya keyakinan agamanya dulu, barulah kemudian keterampilan agamanya. Karena, untuk hafal bacaan sholat, terampil gerakannya, bisa membaca Qur'an dan menghafalnya, sebetulnya tidak butuh waktu lama. Yang tak mudah adalah bagaimana mereka yakin dengan hal itu semua, sehingga mereka terus mempraktikkannya meski tidak disamping orangtuanya.
Untuk contoh terakhir tadi saya jadi ingat perkataan Jundub bin Abdullah radiyallahuanhu, kepada generasi setelahnya (tabi'in) yang jleb di hati:
"Dahulu kami ketika remaja bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, kami belajar iman sebelum Al Qur'an kemudian setelah kami belajar Al Qur'an bertambahlah keimanan kami. Sedangkan kalian sungguh pada hari ini justru belajar Al Qur'an dulu sebelum belajar iman." (Riwayat At Thabrani, Al Baihaqi, Ibn Majah, dishahihkan Al Albani).