"Abah, anak saya kelas 1 SMA, tidak diberikan handphone sampe anak 17 tahun. Saya ikut kata Abah, saya percaya bahwa anak belum diawasi tidak aman untuk punya gadget sendiri. Tidak berarti tidak boleh menggunakannya. Saya pinjamkan punya saya dengan prinsip 3D yang abah ajarkan: dibutuhkan, didampingi dan dipinjamkan. Jadi tidak punya sendiri. Saya ingin anak saya selamat. Mau anak ngeluh kek, apa kek, saya hadapi. Anak saya memang tak minta lagi akhirnya. Tapi anak saya sering terlambat ngerjakan tugas karena waktu saya keluar saya kan tak bisa mendampingi anak. Gimana ya baiknya?"
Nurul Waflah Banda Aceh
Seingat saya, saya hanya menganjurkan anak punya handpone ketika dianggap dewasa. Jika lihat umur ya kira-kira usia 18 tahun. Bukan 17 tahun. Untuk PR atau tugas sekolah yang sering terlambat.. ini saran saya:
Pertama, minta izin ke sekolah, bahwa tugasnya akan terlambat dikumpulkan. Misalnya besok paginya atau malamnya. Jelaskan tetang prinsip “safety” yang Anda pegang bahwa anak harus didampingi saat anak "keliling dunia" main internet. Tidak mungkin anak belum dewasa main internet tanpa pendampingan.
Nonton televisi saja ada kategorinya, anak, remaja dan dewasa. Internet kan lebih dari itu. Kan ngeri kalau tanpa pendampingan. Kita memang percaya sama anak, tapi apakah kita mempercaya orang asing di internet? Anak memang harus diberikan kepercayaan, tapi apakah memberikan kepercayaan sama dengan melepas begitu saja tanpa bimbingan? Relakah anak kita usia belum dewasa “berkenalan dengan orang asing” di internet tanpa ada orangtuanya dengan dalil “berikan kepercayaan?”
Kedua, jika sekolah tidak mengizinkan tugas dikumpulkan terlambat, tidak ada toleransi, bahwa tugas harus dikumpulkan hari itu juga padahal misalnya orangtua lagi ada keperluan yang membuat orangtua harus keluar rumah. Maaf, menurut saya sekolah begitu sepertinya tidak memahami arti pendidikan secara komprehensif. Jika kuat, pindah sekolah saja. Tak pantas sekolah begitu dijadikan acuan “education”.
Ketiga, jika pindah sekolah dianggap tidak kuat (biaya, dan lain-lain), ya terima saja dengan ikhlas "nilai" seadanya. Toh yang diukur nilai, bukan pemahaman. Tidak masalah nilai jelek daripada khawatir anak tidak selamat karena "keliling dunia" di internet tanpa pendampingan.
Semua keputusan dan pilihan ada konsekuensinya. Apapun dalam hidup kita. Bekerja? Cape dan lelah, tapi tidak punya penghasilan. Tidak bekerja, tidak cape dan tidak lelah, tapi tidak punya penghasilan.
Definsi cape dan lelah tidak harus tubuh ya, tapi juga pikiran. Misalnya saya investor saham, sepertinya cuma duduk diam dan dapat return dan gak ada kerjaan. Oh really? Benarkah saya gak ada kerjaan sama sekali? Saya harus mempelajari laporan keuangan tiap emiten, saya memantau perkembangan makro ekonomi dan mikro perusahaan. Itu juga kan kerjaan.
Ngurus anak ada konsekuensinya, tidak ngurus anak juga ada konsekuensinya. Demikian juga soal izin penggunaan per-gadget-an. Pilihan pertama, tidak memberikan gadget sama anak, tidak ngasih izin berinternet di laptop tanpa pendampingan dan tidak mengizinkan anak punya sendiri, kecuali dengan batasan 3D.
Konsekuensi:
Kelebihan: aman, kecil kemungkinan anak kecanduan gadget, hati tenang.
Kekurangan: ribet, sebab orangtua harus memantau. Tugas sering telat karena anak mengerjakan tugas saat orangtua di rumah bisa mendampingi.
Pilihan kedua, anak diziinkan punya gadget sendiri. Tidak ribet mendampingi.
Kelebihan: anak punya peluang mengerjakan tugas sekolah tanpa terlambat (oh really?)
Kekurangan: Anak keliling dunia sendirian setiap hari berkenalan dengan berbagai macam jenis orang dan content yang tidak tahu baik dan buruknya.
So the choice is yours dear... what kind of risk should you get?
Ngomong-ngomong soal RIBET, beberapa waktu lalu ada seorang ibu bercerita dengan tersedu, bahwa selama ini anaknya tidak diberikan gadget, tapi karena belajar online dan mengerjakan tugas sekolah akhirnya dibelikan. Lalu ketika ditanya, kenapa tidak dipinjamkan saja? Jawabannya adalah “ribet ah” harus memantau anak.
Beberapa bulan kemudian: tolongggg saya periksa anak saya ini ternyata anak saya terpapar pornografi setelah saya periksa hapenya. Saya shock saya kaget. Apa yang harus saya lakukan?
Orangtua lain: Ribet juga ya kalau sudah begini.
Seorang ayah berujar: Kalau gara-gara tugas telat lalu anak dihukum sekolah, sekolah ya hukum aja. Kalau anak-anak sudah kecanduan HP dan gadget orang tua yg bakal susah, bukan sekolah. Jika anak-anak rusak karena orangtua lalai, mungkin orangtua yang “dihukum” Allah dan semesta. Pendidikan dan masa depan anak sejatinya di tangan orang tuanya, bukan sekolah. Apakah bersekolah wajib? Jangan salah faham, pendidikan yang wajib, bukan sekolahnya. Jika sekolah bertentangan dengan prinsip pendidikan, mau ikut yang mana?