Jangan-jangan, ratusan kali liburan, berkali-kali libur panjang, tak berdampak apa-apa untuk kesehatan jiwa. Tak berpengaruh penting untuk menambah indeks kebahagiaan.
Siapa yang tak senang dengan liburan? Traveling ke sana ke mari. Nginep hotel sana dan sini. Mengunjungi tempat-tempat indah: gunung, pantai, danau, situ sejarah. Mencoba berbagai wahana dan tak lupa wisata kuliner makanan khas sebuah wilayah sembari mengenal budaya setempat adalah hal yang menarik sebagian besar orang ketika berwisata.
Pun saya melakukannya. Tuhan takdirkan saya melakukan pekerjaan yang membuat saya harus berkeliling sepekan sekali mengunjungi berbagai kota, di Indonesia dan beberapa negara. Saya mau cerita sedikit saja yang di Indonesia, alih-alih kunjungan saya berkeliling beberapa negara. Bukan karena kota di luar negeri tidak menarik, tapi secara pribadi saya merasakan ketika di Indonesia, bukan soal fisik semata, jiwa saya pun lebih mudah untuk melakukan “perjalanan”. Seperti mengalami perjalanan “spiritualitas” saat safar keliling banyak wilayah. Ada perenungan, kekaguman, ketakjuban, hingga perasaan kecil dan tak berdaya.
Jika berkunjung ke kota yang belum saya kunjungi, saya biasanya akan lebihkan sehari, di luar itenirary pekerjaan, untuk melancong di daerah setempat. Semua daerah memiliki keunikan dan keindahannya masing-masing.
Keindahan alam ya sebenarnya “itu-itu saja”. Jika tidak gunung, hutan, pantai ya danau. Diantara danau-danau yang terindah: Danau Maninjau di Sumatera Barat, Danau Lot Air Tawar di Takengon, Aceh dan Danau Sentani di Papua adalah beberapa danau yang menurut saya termasuk danau paling eksotis di Indonesia apalagi jika diliat dari ketinggian.
Beberapa tempat yang saya antusias meski berkali-kali mengunjunginya, bukan karena keindahan tempatnya (meski tak kalah menarik keindahannya), tapi karena lokasinya dan karena impian saya sejak kecil adalah Sabang & Pulau Simelue di Aceh, Merauke & Wamena di Papua.
Kota Sabang saya pikir daerah yang kaya wisata dengan kontur yang unik, gunung dan pantai yang mengelilingnya, yang bisa dijangkau hanya dengan perjalanan seharian, seharusnya menjadi tempat wisata yang lebih menjual di bandingkan Genting Highland di Malaysia.
Merauke? Dataran luas, ratusan istana rayap dan perbatasan New Gueniea, adalah beberapa hal menarik di daerah paling timur Indonesia ini.
Wamena? Daerah yang tak terlupakan seumur hidup saya, karena ketika saya berkunjung, pertama kali dan semoga yang terakhir, saya “dijebak” dengan menumpang pesawat beras. Ya pesawat beras, karena hanya satu-satunya penumpang dan ratusan karung beras di belakangnya.
Tak heran, mungkin daerah ini bisa disebut salah satu daerah “paling mahal” se Indonesia. Beras, minyak goreng, dan sembako lainnya, harus diangkut naik pesawat.
Saat pertama berkunjung ke sana, saya merasa kaget luar biasa saat makan di warung biasa sekelas pedagang kaki lima rasanya seperti hotel bintang 5. Bukan rasanya, tapi harganya teman! Makan nasi dengan satu potong ayam, satu dadar telor dan segelas es jeruk, harus membayar 150 ribu. Itu sekira 7 tahun lalu ya! Bagaimana dengan Bali? Tak usah diomongin! Saya selalu memiliki perasaan berbeda di sana sehingga seperti selalu menarik mengunjunginya.
Ke tempat-tempat indah itu saya lebih merasakan perasaan “menyepi” dibandingkan antusias berwisata. Oh ternyata surga dunia itu ada di Indonesia. Setidaknya, itulah ucapan spontan saya saat melihat belasan air terjun yang berderet-deret terlihat dari helikopter yang menerbangkan saya di Tembagapura. Oh ternyata di dunia saya melihat berbagai keragamannya. Padahal baru di Indonesia.
Tak usah ajarin penduduk-penduduk desa itu soal keberagaman. Bahkan saya rasa, hampir semua penduduk yang “masih asli”, belum terkontaminasi berita, tak akan permasalahkan perbedaan budaya dan agama dalam hidup mereka. Kampanye keberagaman yang giat dipromosikan banyak media, bagi saya hanyalah bentuk “politik prasangka” yang kebetulan disematkan pada kelompok yang paling banyak penganutnya. Sama piciknya dengan jargon intoleran yang dipakai para hamba kuasa untuk merendahkan pihak lainnya demi menasbihkan dirinya paling Pancasila.
Apakah masyarakat kita intoleran? Apakah orang Islam di pedalaman masyarakat Alas yang saya kunjungi di Kutacane intoleran terhadap orang Kristen yang ada di sana? Apakah jemaat gereja di pegunungan Wamena yang saya kunjungi intoleran pada pendatang muslim? Apakah teman-teman Hindu di Klungkung Intoleran terhadap komunitas Muslim di daerahnya? Cobalah berkunjung ke pedalaman, bukan hanya melahap berita masyarakat kota. Jika ada yang intoleran, semata karena politisiasi untuk tujuan kekuasaan hamba-hamba kluasa. Bukan masyarakat polos itu, tak percaya? Wawancara saja warganya, bukan pemimpin wilayahnya, bukan pula pemimpin agamanya.
Sebenarnya di kota pun sama, jika pun ada, kenyataannya apakah intoleransi itu nyata? Tak lebih dari gembar-gembor sebagian kelompok untuk menistakan kelompok lainnya, apalagi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye kekuasaan. Apakah di kota, di komplek saya, saya dan 14 keluarga lain yang muslim yang bertetangga punya 2 tetangga kristen yang satu blok, itu bermusuhan? Selama belasan tahun tinggal bersama, kami berhubungan baik, berkomunikasi dengan baik, bertetangga dengan baik.
Untuk destinasi alam, saya lebih senang mengunjungi pantai dibandingkan gunung dan danau. Mungkin karena tempat saya di Bandung, jauh dari pantai dan laut. Maka melihat sesuatu yang berbau pantai sepertinya adalah favorit saya. Kecuali di pantai Sanur dan Kuta, yang di kedua tempat itu sulit saya fokus (mungkin karena faktor “pemandangan” manusia), bukan mandi, tapi berdiam diri berjam-jam, beruzlah adalah kegiatan rutin yang wajib bagi saya. Meski mungkin ratusan pantai yang saya kunjungi, pantai di Pulau Bengkalis di Riau dan Maumere di Nusa Tenggara Timur adalah pantai yang paling berkesan buat saya. Faktor sepi pengunjung, bersih, belum banyak terjamah dan keramahtamahan penduduk lokal, sungguh membuat saya sampai hari merindukan untuk kembali mengujunginya suatu hari kelak.
Meski menikmati pemandangan itu menyenangkan, tapi selama 12 tahun lebih, lebih dari 100 kota, termasuk daerah-daerah pedalaman di 28 propinsi di Indonesia yang saya kunjungi, tidak ada yang lebih menarik bagi saya selain mengenal dan memahami budaya setempat. Hanya saja, kemarin-kemarin saya tidak terlalu suka pamer di media sosial saya. Sekarang? Setelah anak-anak beranjak dewasa, saya merasa salah satu bentuk dokumentasi yang bagus agar menjadi cerita buat anak cucu saya, memang disimpan di tempat itu, selain di simpan di tempat penyimpanan virtual (seperti penyimpanan awan macam cloud drive, google drive, dll).
Memaknai Liburan
Pertanyaannya, apa sih tujuan liburan? Jangan-jangan ratusan kali liburan, berkali-kali libur panjang, saat cuti bersama atau “long weekend”, tak berdampak apa-apa untuk kesehatan jiwa. Tak berpengaruh penting untuk menambah indeks kebahagiaan. Semoga tidak.
Saya tidak tau dengan Anda, tapi jika ditanya, kenapa Anda ingin berlibur? Apa yang Anda cari? Umumnya biasanya sama: melepas kepenatan, refreshing, membuat jeda diantara berbagai kesibukan keseharian. Kata kuncinya: MELEPAS rutinitas keseharian. Liburan, bagi sebagian orang seperti “rest area” dalam sebuah perjalanan panjang. Ia sangat berguna. Berhenti sejenak untuk mengisi perut di tempat makan, melepaskan lelah, mengumpulkan tenaga, atau mengisi bahan bakar kendaraan. Kunjungan ke “rest area” liburan, akan membuat kita bisa kembali fokus berkonsentrasi melanjutkan perjalanan kehidupan. Liburan adalah liburan. Ia seharusnya bukan tempat baru untuk memindahkan kepenatan harian di tempat wisata.
Jika liburan untuk tujuan refreshing atau mencari enjoy, maka saya sungguh tak nyaman jika liburan dengan sistem paket diatur oleh “tour guide”. Saya lebih senang menyendiri atau beberapa orang saja dibandingkan ramai-ramai. Ketika bekunjung ke Istanbul dan beberapa kota ke Turki, karena ramai-ramai dan membeli paket, yang terjadi kita seperti dikejar deadline. Sehari harus selesai 5 destinasi, padahal 1 destinasi saja jika mau dipelajari rasanya seharian tidak cukup. Maka jiwa saya “lebih hidup” dan saya dapatkan ketika saya justru hanya berduaan tanpa membeli paket saat saya keliling beberapa kota di Eropa daratan atau Jepang.
Jika liburan tujuannya MELEPAS penat, maka sesungguhnya kita harus benar-benar “memutus dunia” keseharian kita dan benar-benar fokus dengan jeda kita. Pertanyaannya? Apakah saat berlibur sebagian kita benar-benar “memutus dunia” itu? Saat seseorang bawa handphone atau gadget lainnya ke tempat liburan, bisa jadi sebenarnya dia tidak benar-benar MELEPAS, tapi justru membiarkan rutinitas mengekor dirinya. Maka ratusan kali liburan, jika begitu, berpeluang tidak akan berdampak apa-apa pada hidupnya.
Itulah yang saya coba lakukan dengan istri dan anak-anak saya liburan “long weekend” di pertengahan Februari ini. Saya dan istri benar-benar memutus hubungan dengan “dunia” keseharian saya selama 3 hari. Bukan dunai dalam artian tida berhubungan dengan orang lain sama sekali, sebab kenyataannya di tempat liburan kita juga berinteraksi dengan orang-orang lainnya. Yang saya maksud adalah dunia keseharian dalam artian dengan rutinitas harian yang tidak seharusnya saya pindahkan ke tempat liburan seperti pekerjaan, berhubungan dengan orang-orang jauh di internet, pekerjaan domestik dan lain-lain. Karena itu saya dan istri memutuskan untuk tidak membawa handphone, tidak juga membawa gadget lainnya. Semua benda itu sengaja kami simpan di rumah.
Sebenarnya kebiasaan jalan-jalan tanpa gadget sudah lama kami lakukan, hanya saja bedanya, ini pertama kali gadget kami benar-benar ditinggal di rumah selama 3 hari. Dulu, kami jalan-jalan tapi gadgetnya kami simpan di mobil. Tidak di bawa ke tempat kunjungan kami. Sebagian orang berkata kepada saya “Bagaimana kalau anak kami hilang?”. Saya hanya tersenyum dan berkata “justru kejadian anak hilang di tempat perbelanjaan dan bahkan sampai ada balita yang meninggal karena terjerembab di kolam renang, yang sudah terjadi karena orangtuanya sibuk dengan gadget”.
Selamat 3 hari, Jumat kami berangkat dan meski hari Ahad kami sudah sampai rumah, sengaja telepon genggam itu pun tidak disentuh sampai Senin pagi. Saya tidak memusuhi gadget. Saya menggunakannya, istri saya menggunakannya. Itu hanya perangkat teknologi yang diciptakan untuk memudahkan hidup kita. Ada banyak gunanya. Tapi tujuan diciptakan alat komunikasi itu apa sih? Menghubungkan yang jauh agar menjadi lebih dekat. Tapi, rasanya tidak adil jika orang yang jauh didekatkan, tapi yang dekat justru tidak sadar, malah dijauhkan. Karena niat kami liburan memang pengen benar-benar ke “rest area” maka kami putuskan untuk meninggalkan gadget di rumah saat liburan.
Ketika kami liburan tanpa gadget, berbagai kesulitan “komunikasi” tanpa gadget nyatanya hanya sedikit saja dan sebagian besar baru sebatas kekhawatiran di pikiran saja, bukan kenyataan. Dari awal kami benar-benar berniat fokus dengan tujuan “melepas” penat, memutus dunia tapi menguatkan hubungan jiwa diantara kami sekeluarga. Satu-satunya “gadget” yang masih diperbolehkan anak-anak gunakan adalah “nonton televisi” di kamar hotel yang itu pun dibatasi sejam sehari. Justru ketika saya dan istri tanpa gadget inilah, kami sekeluarga benar-benar senyatanya lebih banyak dan lebih intens “berkomunikasi”.
Apa saja kesulitan yang “sedikit” kami alami itu tanpa gadget itu? Pertama, saat liburan ini, saya juga menginap di beberapa hotel dengan keluarga. Ada khawatiran bagaimana cara menunjukkan bahwa kami sudah melakukan pemesanan awal pada petugas hotel? Tapi karena sebagai member platinum dari berbagai kelompok manajemen hotel dan masakpai, saya berpengalaman ratusan kali melakukannya. Untuk menunjukkan saya sudah melakukan pemesanan, tak perlu bawa handphone untuk melakukan lapor masuk dan lapor keluar di hotel, kami hanya menyiapkan KTP asli. Kami sebenarnya sudah bersiap, jika di arsip data pemesanan hotel belum muncul, kami akan membuka surat elektronik di komputer di area bisnis yang biasanya juga disediakan di banyak hotel.
Kedua, saat berkunjung ke pusat keramaian di mana ada beberapa kondisi yang membuat kami harus berpisah, itu membuat peluang kami sulit bertemu lagi karena tak membawa alat komunikasi. Tapi itu pun sudah disiasati dengan membuat simulasi terlebih dahulu sebelumnya. Jika tercerai, menentukan titik kumpul yang disepakati di pusat keramaian tersebut. Dan nyatanya, lagi-lagi setelah sempat terpisah, karena sudah menyepakati titik kumpul, ya kami bisa berkumpul kembali.
Ketiga, bagaimana jika ada keadaan darurat dengan keluarga atau pekerjaan, kami tidak bisa menghubungi? Hanya yang ini yang mungkin kami benar-benar berserah diri pada Yang Menciptakan kami. Namanya musibah, keadaan apapun saya rasa kita tidak bisa menghindari. Bahkan dalam keseharian kita, banyak tempat yang sebenarnya kita juga sulit dihubungi. Ketika di pesawat, ketika di daerah pedalaman, ketika ada di lantai basement atau yang sederhana ketika kita tidur dan lalu mematikan gadget kita. Apakah kita akan disalahkan gara-gara kita memutuskan dengan sadar atau tidak sengaja karena keadaan tertentu, tidak bisa dihubungi?
Ketiganya bukan kesulitan yang harus ditakuti. Ketakutan terbesar bukan ketiga hal itu, bagi sebagian orang, kesulitan yang sebenarnya tidak membawa gadget adalah TIDAK BISA REAL TIME PAMER di media sosial. Hayo ngaku! Tapi jangan khawatir, kita masih bisa pamer. Bawa kamera miroless atau kamera lainnya, dokumentasi masih bisa dijaga dan pamer masih bisa dilakukan, hanya ditunda setelah menikmati liburan, baru pamer.
Ah tidak praktis! Ribet amat mau liburan. Lah siapa yang melarang bawa orang lain gadget? Tidak ada. Itu urusan Anda. Kalau mau mikir ribet, liburan itu sendiri sebenarnya melibatkan banyak proses ribet. Mulai melakukan perencanaan perjalanan, pemesanan tiket pesawat, hotel, mempersiapkan kendaraan dan lain-lain. Jika tak mau ribet, ya jangan liburan. Diam aja di rumah. Jika pun liburan itu ribet, bukankah itu harga yang harus dibayar demi pencapaian yang diharapkan. Bergantung masing-masing orang niat liburan. Mungkin ada orang yang liburan niatnya bukan untuk masuk “rest area” tapi untuk pamer atau memindahkan pekerjaan, ya itu urusan masing-masing.
Jika tidak bawa gadget, jika bosan ngapain dong? Inilah penyakit manusia mileneal, ketergantungan tinggi dengan gadget justru mematikan intuisi alamiah manusia: kreativitas. Ini tak ada bedanya dengan anak-anak jaman sekarang yang ketika nonton dibatasi, main gadget dibatasi (dibatasi loh ya bukan dilarang digunakan), sebagian mereka akan berkata “terus hiburan aku apa?” Seolah satu-satunya sumber hiburan itu terpaku dengan gadget-gadget itu.
Kalau saya, liburan, niat ingin memutus benar-benar dengan rutinitas harian di luar liburan. Kami justru ingin terhibur dengan kegiatan lain di luar gadget. Kami, saya dan keluarga, benar-benar fokus menikmati setiap kegiatan yang kami lakukan. Berjalan kaki mengeliling kota, bersenda gerau di taman, berenang di hotel, beramai-ramai ke pusat keramaian atau tempat belanja tanpa harus lirak-lirik menengok layar handphone jika kami membawanya. Saat kami lelah, tidur dan melahap buku. Mungkin hanya dua kegiatan itulah: tidur dan baca buku, yang benar-benar membuat kami “tidak terhubung” satu sama lain. Dengan tidak membawa gadget ke tempat liburan kami benar-benar melakukan “disconnect ‘the world’ but fully connected with family”.
Manusia yang bahagia jiwanya adalah manusia yang terhubung dengan orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya. Sebaliknya, bibit dari semua keluarga tidak harmonis adalah tidak adanya keterhubungan. Bahasa umum kita menyebutnya dengan “tidak ada komunikasi”.
Orang-orang berbahaya di dunia bukanlah orang yang banyak ngomong, periksalah justru mereka yang menjadi pelaku pembunuhan massal, mutilasi, terorisme, bukan orang-orang yang banyak berkomunikasi tapi justru mereka yang tidak atau sulit berkomunikasi dan tak bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Bukankah “pekerjaan” orang yang mengalamai gangguan kejiwaan banyak diam sebelumnya? Bukankah “pekerjaan” para pelaku bunuh diri itu banyak diam sebelum bunuh diri? Jika kita terhubung dengan anggota keluarga, dengan fokus, kita memiliki banyak peluang “gratis” tiap hari tujuan dari semua liburan “refereshing”. Dengan demikian, jika kita disiplin mengurus keluarga kita dengan baik, termasuk di dalamnya rajin memelihara keterhubungan antaranggota keluarga, keluarga seharusnya menjadi tempat “rest area” kita tiap hari, setelah tekanan banyak di luar rumah. Jika demikian, maka seharusnya tidak ada lagi istilah “back to reality” yang diucapkan sebagian orang saat pulang dari liburan. Sepertinya realitas kehidupan benar-benar menyiksa hidupnya. Mengapa “daily reality” harus dihindari, jika sejatinya membahagiakan hidup kita?
– abaihsan –