Awalnya saya tidak pecaya, tapi setelah lihat sendiri, saya sekarang benar-benar yakin dan percaya. Dengan mata kepala telinga kaki pundak bau dan panca indra saya lah pokoknya, saya lihat langsung betapa anak-anak tetap fokus.
Dalam satu ruangan ukuran sekira 10x10 meter persegi itu ada empat kelompok anak yang masing-masing memiliki kegiatan berbeda. Satu belajar matematika, satu lagi aktivitas pembiasaan ibadah, satu kelompok lagi bermain musik dan satu lagi tengah belajar pelajaran bahasa. Masing-masing kelompok asyik melakukan aktivitasnya sendiri. Hal yang membuat saya takjub adalah: mereka di ruangan yang sama tanpa sekat.
Tidak ada yang teriak “berisiiiiiiiik!”. Tidak ada yang matanya kesana kemari memperhatikan aktivitas temannya yang lain. Yang belajar matematika, mereka aktif terlibat dengan gurunya tanya jawab. Kelas yang paling mendominasi adalah kelas musik tentunya. Karena mengeluarkan bunyi-bunyian. Jika saya di sana sebagai murid atau lagi belajar di kelas itu maka tentu saja saya akan merasa terganggu.
Tapi saya hampir tak percaya dengan pemandangan yang saya lihat. Murid-murid itu, sama sekali tidak saling mengganggu, tidak saling memperhatikan dengan kelas lainnya. Setiap kelompok belajar dengan fokusnya masing-masing.
Konsep sekolah ini mungkin kita sebut “open class”. Banyak perdebatan di seputarnya sejak tahun 1960-an, dianggap tak efektif, dianggap akan mengganggu fokus dan lainnya. Oleh partner saya, saya diusulkan untuk pake konsep ini. Awalnya saya protes, lah bukannya anak bakal terganggu fokusnya? Tanpa banyak basi-basi, tanpa teori, tanpa banyak penjelasan, beliau mengajak saya ke sekolah yang menerapkan konsep seperti ini. Beliau cuma bilang “perhatikan dan lihat sendiri”. Dan demikianlah seperti di awal tulisan ini saya lihat.
Saya benar-benar jadi merenung, berfikir mendalam, apa yang terjadi dengan saya dari kecil? Ternyata karena justru sejak kecil saya disetting dengan kelas “isolasi” maka setelah dewasa saya jadi gampang terganggu dan susah fokus di tengah keramaian. Tidak bisa damai di tengah keramaian.
Apa yang dimaksud kelas isolasi? Inget ketika kita kecil? Setting kelas macam apa yang pernah kita alami? Setiap kelas disekat dengan tembok-tembok. Jendela dibuat tinggi-tinggi, katanya agar tidak sembarangan melihat keluar ruangan, supaya fokusnya tetap pada guru. Pintu ditutup. Ada keributan suara sedikit di luar ujungnya juga pada kepo, pada berjinjit di jendela. Kelas-kelas tertutup seperti itu (isolate class atau close class) dibuat tujuannya tentu saja baik: agar belajar fokus. Tapi apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian?
Karena tubuh dan otak kita disetting, dibiasakan, sejak kecil belajar itu yang terisolasi, maka ketika ada keramaian, ketika ada suara-suara lain yang bukan kepentingan kita, kita merasa terganggu. Kita mudah terganggu dengan kebisingan dan aktivitas orang lain. Akhirnya manusia-manusia modern itu sekarang untuk mencari ketenangan, kedamaian, harus lari ke gunung, ke pantai, ke tempat-tempat sepi. Demi, menghindari keramaian. Mustahilkah jika anak kita dilatih untuk damai di tengah keramaian? Untuk khusyu di tengah kesibukan banyak orang? Untuk dapat mencari kedalaman makna pikiran di tengah keriuhan?
Saya jadi yakin setelah melihat sekolah yang mempraktikkan kelas terbuka (open class) itu bisa! Kelas terbuka tidak berarti tanpa jendela atau harus belajar di saung. Kelas terbuka itu tetap boleh ada jendela, tetap boleh pake AC (jika mau), tapi settingnya dibuat anak tetap dapat melihat keluar kelas. Satu ruangan besar dapat memuat 4 aktivitas kelas yang berbeda. Itu juga yang akhirnya hendak kami terapkan di sekolah yang saya rintis: Cahaya Nalar. Mungkin untuk saya yang sudah segede “hantu” agak telat dan agak susah melatihnya. Tapi anak-anak itu adalah anak-anak yang masih tahap berkembang yang seharusnya masih bisa dibentuk.
Secara tidak sadar kelas itu sebetulnya bagus untuk menjaga kesehatan mental anak. Anak tidak mudah terganggu dengan keramaian atau aktivitas orang lain. Betapa banyak anak sekarang mudah kehilangan fokus hanya gegara flexing suara lain di luar sana. Betapa banyak anak jiwanya gampang resah dan tidak damai karena pikirannya tidak “mindfulness”. Padahal mindfulness itu substansinya adalah kemampuan untuk dapat berkonsentrasi, fokus, menikmati apa yang terjadi pada diri kita hari ini. Jika tidak menikmati apa yang dilakukan, akibatnya? Dikit-dikit healing, dikit-dikit healing. Padahal mbok mbok kita, bapak ibu kita, eyang-eyang kita, nini aki kita, rasanya jarang bercerita soal seringnya mereka healing, tapi hidup mereka terlihat “mindfulness”.