Saya masih ingat betul dengan sebuah tulisan seseorang di harian Kompas. Sayang, saya tidak mengarsipkan tulisan itu. Tulisan itu dibuat oleh seorang akademisi yang ceritanya beliau baru pulang jalan-jalan dari Jepang. Sayangnya lagi saya tidak ingat siapa penulisnya. Tulisannya panjang, tapi yang menarik perhatian saya adalah tulisan beliau pada bagian yang menyebutkan kira-kira kalimatnya begini:
“Luar biasa orangtua di Jepang bagaimana membuat anaknya mandiri. Saat tengah makan siang di sebuah restoran di Jepang, dengan mata kepala saya sendiri saya melihat seorang anak terjatuh. Anak itu menangis kesakitan. Tapi orangtuanya hanya diam saja di samping anak, menunggu anaknya bangkit dan berhenti menangis sendiri. Pantas saja Jepang menjadi negara maju karena anak-anak dari kecil dilatih mandiri untuk mengatasi perasaan dan kesulitannya sendiri.”
Inilah kenapa judul tulisan ini saya tuliskan demikian. Pendidikan kemandirian anak tidaklah sama dengan pengabaian perasaan anak. Memang, bedanya tipis. Tapi ada perbedaan besar diantara keduanya. Sama halnya dengan asumsi sebagian orangtua yang hari ini “sukses”, menyebutkan bahwa dia dulu sejak kecil dididik dengan keras, dipukul, dirotan, dicubit dan lainnya. Mereka mengatakan bahwa kalau orangtua tidak mendidik seperti itu mungkin mereka tidak menjadi orang sukses seperti hari ini.
Padahal yang membuat mereka sukses sebetulnya bukan karena kekerasannya tapi materi kedisiplinannya. Mendisiplinkan anak sebetulnya tidak sama dengan melakukan kekerasan pada anak. Disiplin tidak sama dengan kekerasan karena disiplin tidak harus melibatkan pukulan, cubitan, cambukan, amarah, bentakan dan sejenis ini. “Karena saya dididik dengan ‘keras’, itu yang membantu saya menuju jalan kesuksesan”, sebetulnya yang dimaksud adalah “Karena saya dididik dengan ‘disiplin’, itu yang membantu saya dengan menuju jalan kesuksesan.”
Kenyataannya, apakah semua orang yang sukses di dunia ini adalah orang yang “pasti” dari kecil mengalami pukulan, bentakan, cambukan sejak kecil? Apakah orang yang tidak pernah menerima pukulan sejak kecil tidak dapat menjadi orang sukses?
Kembali lagi ke topik, memandirikan anak tidak sama dengan mengabaikan perasaan anak. Apa yang disebutkan sebelumnya oleh seorang yang menulis di surat kabar tersebut itu adalah contoh kesalahpahaman tentang memandiriakan anak. Pernyataan itu bahkan lebih tepat disebut asumsi daripada generalisasi. Kebetulan saya juga pernah mengunjungi beberapa kota-kota besar di Jepang. Jadi saya tidak yakin benar bahwa sebagian besar orangtua di Jepang seperti itu. Jika pun benar, bagi saya, apa yang dilakukan orangtua Jepang seperti itu bukanlah bagian dari pendidikan kemandirian tapi cenderung ke pengabaian perasaan. Kita tidak boleh lupa dengan fakta bahwa Jepang adalah satu negara di dunia ini yang tingkat bunuh dirinya paling tinggi di dunia.
Tentu ada beberapa motif bunuh diri di Jepang, tidak selalu berkaitan dengan masalah depresi dan kesepian. Akan tetapi kesepian dan depresi adalah salah satu penyebab tertinggi dari motif bunuh diri. Sebelum pandemi saja banyak orang yang bunuh diri, apalagi setelah ada isolasi karena pandemi. Bahkan tren “extended suicide” sejak awal tahun 2022 di Jepang semakin meningkat. Apa itu “extended suicide”? Peristiwa bunuh diri yang di mana orang bunuh diri “ngajak-ngajak” orang lain untuk ikut mati. (https://asia.nikkei.com/Spotlight/Society/Social-isolation-blamed-for-Japan-incidents-of-extended-suicide).
Praktik mengabaikan perasaan seperti contoh di awal tulisan ini: tidak memeluk mereka saat terjatuh, tidak menolong mereka saat mereka kesakitan, itu “extended” yang berikutnya adalah tidak mendengarkan perasaan mereka saat mereka terpuruk dan bersedih. Apa yang ingin Anda lakukan saat sedih dan terpuruk? Bukankah baik untuk kesehatan mental kita jika apa yang kita rasakan itu ada yang mendengarkan? Bagaimana jika tidak ada satu pun yang ingin mendengarkan?
Betapa berbahaya jika perasaan diabaikan. Diantara banyak bahaya, saya hanya ingin menyebutkan dua saja: pertama, jika anak sering diabaikan perasaannya, maka ia berpeluang tidak mengenali perasaannya sendiri. Saat ia tidak mengenali perasaannya sendiri, bagaimana mungkin ia dapat menyelesaikan yang dirasakannya? Anda tahu, orang-orang yang berbahaya di dunia bukanlah orang yang banyak bicara, tapi orang yang jarang bicara. Tepatnya orang yang sering memendam segala kesakitannya.
Apa pekerjaan orang bunuh diri sebelum bunuh diri, banyak diam bukan? Apa pekerjaan orang yang terganggu jiwanya sebelum terganggu jiwanya? Banyak diam bukan? Bicaralah yang baik atau lebih baik diam (falyaqul khairon au liyasmuth), pun tidak menyebutkan bahwa diam itu lebih baik. Frasa pertama “bicaralah yang baik” bukan “diam dulu lebih baik”, mengindikasikan bahwa “bicara” defaultnya lebih baik dibandingkan diam sepanjang diungkapkan dengan cara yang baik
Kedua, jika anak sering diabaikan perasaannya, maka bagaimana mungkin mereka setelah dewasa dapat memahami dan peduli dengan perasaan orang lain sementara perasaannya sendiri pun mereka tidak paham? Pernah mendengar ucapan ini? “Dasar nggak punya perasaan!” Tuh kan?
Sekali lagi, memandirikan anak sangat berbeda dengan mengabaikan perasaan anak. Kita dapat melatih anak mandiri tanpa harus mengabaikan perasaannya. Banyak cara mendidik anak mandiri tapi tanpa mengabaikan perasaan anak. Misalnya memberikan anak mereka tugas di rumah (chores), membimbing dan melatih anak untuk menghadapi kesulitan, melatih problem solving dan seterusnya. Tapi ingat, membimbing dan melatih anak mandiri pun berbeda dengan membiarkan anak begitu saja anak melakukan banyak hal sendiri. Seperti yang pernah saya contohkan berkali-kali, apakah sama melatih anak berenang dengan melepaskan anak begitu saja ke sungai padahal ia belum dapat berenang sendiri?
Ketika kita melatih anak berenang, maka ia didampingi, jika perlu, kita ikut nyebur ke air kan? Tapi saat ia biarkan begitu saja, sana nyebur sendiri, lalu kita tinggalkan begitu saja di kolam yang dalam, apakah ini melatih atau tidak peduli?